Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu begitu melihat singkatan ‘P.U.P’ ini, kawan… P.U.P sama sekali nggak menceritakan bahasa Inggrisnya kotoran, melainkan singkatan suatu program pemerintah yang secara tidak langsung memajukan bangsa Indonesia. Lo kok bisa? Iya bisa, karena ini adalah program untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur dan mendukung kelahiran masyarakat berkualitas. P.U.P ini sebenarnya singkatan dari program ‘Pendewasaan Usia Perkawinan’ dengan panduan dibuat oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Program ini merupakan salah satu bentuk solusi pemerintah untuk mengendalikan problematika jumlah penduduk Indonesia yang kian bertambah.
P.U.P memiliki banyak manfaat dari berbagai aspek, termasuk kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi sendiri adalah kondisi sehat yang menyangkut sistem reproduksi (fungsi, komponen dan proses) secara fisik, mental, emosional, maupun spiritual. Muadz et al. (2010) membuat buku berisi informasi mengenai P.U.P & hak-hak reproduksi bagi remaja Indonesia, di bawah naungan BKKBN. Tujuan umum P.U.P adalah peningkatan kesadaran dan pengetahuan mengenai hak reproduksi dan perlunya P.U.P supaya akhirnya dapat mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Hak reproduksi sebagai bagian dari hak asasi manusia melekat sejak lahir, perlu dilindungi. Berikut hak yang dimilki oleh individu baik laki-laki maupun perempuan, berkaitan dengan keadaan kesehatan reproduksi mereka:
1. Hak untuk hidup (dan dilindungi dari kemungkinan kematian selama persalinan).
2. Hak atas kebebasan (berpikir) dan keamanan, berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
3. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam bentuk berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
4. Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya, sehingga tidak boleh ada pembeberan informasi pendidikan dan pelayanan yang diterima pada pihak lain.
5. Hak untuk kebebasan berpikir tentang kesehatan reproduksi.
6. Hak untuk bebas berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Misalnya dengan penyampaian aspirasi mengenai aborsi.
7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk; termasuk: perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual
8. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
9. Hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, menggunakan teknologi untuk memperoleh informasi.
10. Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran, dengan pemberian informasi jelas mengenai dampak positif dan negatif dari jumlah anak banyak.
11. Hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi.
12. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga, dengan himbauan norma-norma (hukum, moral, sosial) yang berlaku.
Hal-hal di atas merupakan hak-hak reproduksi setiap orang yang perlu dipenuhi sebagai bagian dari HAM. Hak tersebut akan dijamin negara secara tidak langsung melalui instansi kesehatan dan balai sosial seperti BKKBN. Tidak semua hak bisa dituntut dengan seenaknya karena terdapat beberapa kewajiban yang perlu dilakukan. Kewajiban paling utama untuk dapat menerima hak reproduksi adalah memahami maksud dari hak reproduksi, kemudian dapat menerima dan menyampaikan berbagai informasi secara terbuka. Norma-norma yang berlaku juga perlu dipenuhi untuk kemashlahatan masyarakat, seperti keberadaan norma hukum yang menyatakan berapa usia minimal perkawinan dengan program P.U.P.
Remaja merupakan target sasaran dimana pelanggaran P.U.P sering terjadi dan banyak pernikahan dini.. 1 dari 4 orang di Indonesia adalah remaja. Hal ini didasarkan dari data demografi tahun 2016 yang menyatakan 25,63% (1/4) atau 66,3 juta dari penduduk Indonesia berstatus remaja. Cakupan umur remaja adalah jika manusia berusia antara 10 hingga 24 tahun. Potongan diagram lingkaran untuk remaja pada bagian oranye tua di gambar bawah:
Gambar 1. Diagram persentase masyarakat Indonesia berdasarkan kategori umur
(Sumber: Bappenas et al., 2013, Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035)
Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa. Apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka ia perlu menunda kelahiran anak pertama harus dilakukan. Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur kawin pertama yang pada gilirannya akan menurunkan Total Fertility Rate (TFR). Beberapa alasan medis secara objektif dari perlunya penundaan usia kawin pertama dan kehamilan pertama bagi istri yang belum berumur 20 tahun adalah (Adzian, 2016):
1. Kondisi rahim dan panggul belum berkembang optimal sehingga dapat mengakibatkan risiko kesakitan dan kematian pada saat persalinan, nifas serta bayinya.
2. Kemungkinan timbulnya risiko medik seperti kematian ibu maupun anak selama kehamilan dan persalinan, Fistula Vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina), Fistula Retrovaginal ( keluarnya gas dan feses/tinja ke vagina) dan Kanker leher rahim.
Pernikahan dini menyebabkan banyak hal merugikan, terutama bagi pihak perempuan. Hak kesehatan reproduksi akan jauh berkurang, apalagi hak anak yang seharusnya masih dapat bersama orang tua. Pernikahan dini yang diakibatkan oleh kurang berjalannya P.U.P dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada kesehatan reproduksi yang dapat beresiko tinggi pada ibu maupun anaknya (Priohutomo, 2018).
Salah satu prasyarat pernikahan adalah kesiapan fisik seseorang yang amat ditentukan oleh umur saat melakukan pernikahan. Fisik manusia secara biologis akan berangsur-angsur berubah sesuai perkembangan usia, dimana ukuran dan proporsi tubuh serta organ reproduksi akan mencapai maturasi saat dewasa. Maturasi/kematangan organ reproduksi pada laki-laki secara sempurna baru terjadi ketika mereka berumur 20-21 tahun, walaupun sejak sekitar 14 tahun mereka sudah mengalami mimpi basah sebagai tanda sperma telah diproduksi.
Organ reproduksi perempuan berkembang pesat pada umur 16 tahun, hingga dirasa cukup matang di atas usia 18 tahun karena rahim telah memanjang dan indung telur bertambah berat. Perempuan mengalami menstruasi pada umur yang bervariasi, namun masa awal menstruasi dianggap sebagai tahap kemandulan remaja karena tidak ada pematangan maupun pelepasan sel telur dari folikel dalam indung telur. Kondisi rahim dan panggul perempuan untuk mendukung persalinan bayi juga belum optimal pada perempuan di bawah 20 tahun, sehingga pernikahan dini beresiko mengalami kesakitan dan kematian selama kehamilan maupun persalinan.
Resiko yang dapat terjadi selama proses kehamilan janin:
1. Keguguran (aborsi) sebagai berakhirnya proses kehamilan pada janin berusia <20 minggu.
2. Pre eklampsia yaitu ketidateraturan tekanan darah selama kehamilan.
3. Eklampsia sebagai kejang selama kehamilan.
4. Kematian bayi yaitu jika janin dalam kandungan meninggal <1 tahun.
5. Kanker rahim yang berkaitan erat dengan belum sempurnanya perkembangan dinding rahim pada wanita yang rahimnya belum cukup matang.
6. Anemia karena ibu tidak cukup memenuhi kadar hemoglobin bagi diri atau kandungannya.
7. Infeksi maupun peradangan saat kehamilan.
Resiko yang dapat terjadi selama pada proses persalinan bayi:
1. Kesulitan dalam melakukan persalinan bayi, terutama akibat faktor ukuran panggul yang belum cukup pada seorang ibu yang menikah terlalu dini.
2. Bayi lahir secara prematur karena dilahirkan saat usia kehamilan <37 minggu.
3. BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) ketika bayi lahir dengan berat <2500 gram
4. Bayi mengalami kelainan bawaan maupun cacat.
5. Kematian bayi baru lahir dari ibu yang hamil pada usia <20 tahun, risiko tersebut 50% lebih besar dibandingkan wanita yang hamil >20 tahun.
6. Kematian ibu akibat berbagai komplikasi selama persalinan.
7. Mengalami Obsteric fistula, suatu komplikasi persalinan yang sering terjadi pada seorang ibu yang menikah terlalu muda dengan rusaknya jaringan sekitar vagina (termasuk kandung kemih & rektum) akibat kepala bayi tersangkut di jalur persalinan secara terus-menerus. Dapat mengakibatkan urine dan feses keluar tak terkendali karena saluran pembuangannya, urethra dan anus, mengalami kerusakan (Bridgewise, 2013).
Perkawinan pada anak-anak merupakan masalah global yang perlu segera ditangani dengan gerakan nyata supaya berbagai resiko kehamilan dan persalinan dapat diminimalisir. Perempuan yang menikah pada usia dini adalah populasi yang paling rentan terkena komplikasi obsteric fistula. 25% kasus komplikasi ini disebabkan oleh kehamilan akibat hubungan intim oleh remaja padahal tubuh mereka belum siap melahirkan. Komplikasi ini sebenarnya 100% dapat dicegah dengan pencegahan kehamilan dini melalui pendewasaan usia perkawinan. Kontrol selama kehamilan secara rutin dan persalinan bersama orang berpengalaman akan menjamin seorang ibu tidak mengalami komplikasi ini. Penyembuhan komplikasi ini hanya dapat dilakukan melalui operasi agar saluran pembuangan feses dan urin dapat menutup dan kering, sehingga penderita komplikasi ini tidak bau dan menderita.
Pendewasaan Usia Perkawinan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan usia pada saat perkawinan supaya pasangan suami istri dapat mencapai usia minimal perkawinan. Usia minimal perkawinan yang ideal adalah 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. P.U.P bukan sekedar menunda usia perkawinan tapi mengusahakan agar kehamilan pertama terjadi pada usia yang cukup dewasa. Penundaan perkawinan ini dapat mempersiapkan mental dan fisik pasangan agar lebih siap mengasuh anak, sedangkan penundaan kehamilan hingga saat yang tepat dapat menghindari resiko kesakitan dan kematian selama kehamilan & persalinan
Daftar pustaka:
Adzian T. 2016. Pendewasaan Usia Perkawinan. Diakses pada 31 Maret pukul 10:59 WIB.
https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/pendewasaan-usia-perkawinan-47
Bappenas et al., 2013, Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035
Bridgewise, FF.2013. Fistula, a silent tragedy for child brides. Girls not Brides. Diakses pada 31 Maret 2019 pada pukul 20:00 WIB dari: https://www.girlsnotbrides.org/fistula-a-silent-tragedy-for-child-brides/
Muadz, MM., et al. 2010. Pendewasaan Usia Pernikahan & Hak-Hak Reproduksi bagi Remaja Indonesia. BKKPBN. Jakarta. Hal: 1-48. (Buku Perpustakaan UKESMA)
Priohutomo, S. 2018. Mencegah Pernikahan Anak dengan KKBPK. BKKBN/GERMAS.
0 Comments