Infografis Penelitian
Khariza Kusumaningtyas¹, Rozin Dwi Salim², Marfauzi Nur Habibah², Aulia Mufthiana Dwiansari³
¹Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
²Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
³Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
Latar Belakang
Fenomena yang kerap muncul akhir-akhir ini dikalangan pelajar khususnya mahasiswa adalah hustle culture, banyak yang menilai bahwa fenomena ini telah menjadi tren baru di tengah kehidupan generasi muda saat ini. Secara umum hustle culture dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk mendorong dirinya dan melewati batas kemampuannya dalam mencapai tujuan atau kesuksesan, sebagai contoh ketika seseorang menghabiskan sebagian besar keseharian mereka kepada studi ataupun pekerjaan mereka. Budaya ini juga dikenal sebagai “gila kerja” “Burnout Culture”, “Workaholism”, dan “Toxic Productivity”. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, katakanlah pandemi Covid-19, Sudah menjadi hal yang wajar apabila pandemi ini telah mempercepat proses transformasi digital atau perubahan yang berhubungan dengan penerapan teknologi digital dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Bagi seorang pelajar khususnya mahasiswa semua dapat dipermudah oleh adanya hal tersebut akan tetapi menjadi penting ketika mereka dituntut menyesuaikan diri dengan teknologi, media informasi, serta manajemen waktu untuk menyelesaikan padatnya aktivitaspembelajaran, tugas, organisasi, serta tanggung jawab lain yang diberikan. Sehingga pada akhirnya mahasiswa cenderung dituntut untuk selalu produktif beraktivitas selama pandemi yang menjadikan salah satu faktor timbulnya fenomena baru diadopsinya budaya hustle culture ini. Fenomena ini telah banyak dijumpai pada mahasiswa yang tergabung ke dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) UGM dan penyebabnya relevan sesuai apa yang dijelaskan Zaliha dkk (2021) di dalam penelitiannya terkait faktor yang berhubungan dengan hustle culture pada mahasiswa di masa pandemi.
American Psychological Association (APA) memberikan makna tentang well-being sebagai kondisi kepuasan, perasaan bahagia, tingkat stres yang rendah, dan sehat baik secara fisik maupun mental serta terjaganya kualitas hidup yang baik. Keadaan well-being dikalangan mahasiswa yang tergabung ke dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) UGM, dinilai dipengaruhi oleh adanya fenomena hustle culture, hal ini dapat dilihat berdasarkan dampak negatif dari hustle culture dimana mahasiswa cenderung mengabaikan kesehatan dan kebutuhan mental seperti istirahat, kebutuhan makan dan minum serta jam tidur. Sehingga mahasiswa sering dihadapkan pada kondisi rendahnya kualitas well-being seperti kelelahan, kegelisahan, perasaan sedih, dan tidak sedikit dijumpai adanya kasus stress perkuliahan.
Penelitian yang telah dilakukan Shahnaz Aziz, et al (2017) berjudul The Endless Pursuit
For Self-Validation Through Attainment : An Examination Of Self Esteem In Relation To Workaholism menjelaskan adanya hubungan positif antara workaholism (gila kerja) dan stres kerja. Studi yang sama menggambarkan bahwa kenikmatan kerja dikaitkan dengan peningkatan afek positif, koping, dan kesejahteraan. Demikian pula, orang lain telah menunjukkan bahwa kecanduan kerja menghubungkan dorongan kerja dengan peningkatan perasaan stres kerja dan penurunan kesejahteraan psikologis, dan sebaliknya kenikmatan kerja terkait dengan penurunan stres kerja dan peningkatan kesejahteraan emosional (Aziz & Zickar, 2006; Burke, 2001; Burke & Matthiesen, 2004; Spence & Robbins, 1992). Berdasarkan uraian diatas, budaya hustle culture secara signifikan dinilai berpengaruh terhadap well-being mahasiswa yang tergabung ke dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) UGM. Sikap produktif dan kerja keras secara nyata tidak selalu berdampak positif, sebagaimana budaya hustle culture yang memiliki sisi negatif yang cukup serius, budaya ini menyebabkan burnout (kelelahan secara fisik, mental, dan emosional), kecemasan, stress yang dinilai mempengaruhi keadaan well-being secara signifikan. Adanya isu tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian terkait hubungan hustle culture
(workaholic) terhadap well-being mahasiswa yang tergabung ke dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) UGM.
Tinjauan Pustaka
Budaya gila kerja yang sering disebut hustle culture atau workaholism pertama kali dikonsepkan oleh Wayne Oates, mengacu pada suatu gaya hidup yang menganggap bahwa kesuksesan hanya dapat diraih jika terus menerus bekerja dan tidak mementingkan waktu istirahat (Oates, 1971). Dari suatu konsensus ditemukan bahwa orang yang mengalami hustle culture telah menjadi kecanduan pekerjaan (Clark et al., 2014) dan didorong oleh keinginan kompulsif internal yang menyebabkan mereka bekerja lebih lama dan lebih keras dibanding orang lain (Wijhe et al., 2014).
Menurut Spence dan Robbins (1992) workaholism dinilai pada 3 komponen, yaitu keterlibatan kerja, dorongan untuk bekerja dan kenikmatan kerja. Keterlibatan kerja mengacu pada bagaimana seseorang secara konstruktif menggunakan waktu dan mendedikasikan diri untuk bekerja secara produktif. Dorongan untuk bekerja mencerminkan motivasi internal individu dan tekanan dari dalam diri untuk bekerja. Kenikmatan kerja adalah seberapa banyak individu memperoleh kesenangan dari pekerjaan (Spence & Robbins., 1992). Orang yang workaholic memiliki kecanduan bekerja dengan keterlibatan kerja dan dorongan untuk bekerja yang tinggi, namun belum tentu menikmati pekerjaan tersebut (Ng et al., 2006).
Di sisi lain, penelitian tentang kesehatan mental dan kesejahteraan (well-being) pada mahasiswa disebutkan telah melonjak secara eksponensial dalam beberapa dekade terakhir (Hernandez-Torrano et al, 2020). Kesejahteraan sendiri diartikan oleh World Health Organization sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya karena tidak adanya penyakit atau kelemahan (Dinesh et al., 2022). Meskipun tidak ada definisi kesejahteraan yang diterima secara universal, dua perspektif yang mendominasi dalam literatur terbagi menjadi kesejahteraan subjektif dan kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan subjektif didasarkan pada perspektif hedonis kesenangan dan mewakili keyakinan atau perasaan orang bahwa mereka menjalani kehidupan yang diinginkan dan bermanfaat (Diener, 2012). Sedangkan kesejahteraan psikologis didasarkan pada realisasi diri, dengan tujuan akhir berusaha untuk mewujudkan potensi sejati dalam diri seseorang (Ryff & Singer., 2008). Kesejahteraan dikatakan tinggi apabila seseorang merasa puas terhadap kehidupannya dan cenderung merasa gembira dibanding sedih, marah atau emosi tidak menyenangkan lainnya. Sebaliknya, kesejahteraan dikatakan rendah apabila seseorang tidak puas terhadap kehidupannya, dan cenderung merasakan emosi negatif, misalnya kecemasan atau kemarahan (Diener, 2000).
Berdasarkan penelitian Martinez et al., (2020) kesejahteraan mahasiswa menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sebelum pandemi terjadi. Hal ini sejalan dengan hustle culture yang saat ini juga menjadi suatu fenomena yang marak terjadi di kalangan mahasiswa. Hubungan antara kesejahteraan mahasiswa dan hustle culture ini ditemukan dalam penelitian Chamberlin dan Zhang (2009) pada 279 mahasiswa, yang menemukan 102 di antaranya memiliki kecenderungan workaholic. Dalam studi tersebut juga ditemukan bahwa mahasiswa yang workaholic memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dan keluhan kesejahteraan fisik yang lebih tinggi dibandingkan non-workaholic (Chamberlin & Zhang, 2009). Demikian pula, dalam sebuah studi disebutkan bahwa kecanduan kerja menghubungkan dorongan kerja dengan peningkatan stres kerja dan penurunan kesejahteraan psikologis (Aziz et al., 2018). Kombinasi peningkatan jumlah jam kerja dan perubahan signifikan di lingkungan juga dapat berdampak pada kesejahteraan seseorang yang memicu terjadinya efek samping seperti stress, penurunan produktivitas, konflik, dan kelelahan (Clark et al., 2014). Oleh karena itu, tendensi workaholic penting untuk diteliti sebagai faktor dalam memperbaiki kesejahteraan, baik kesejahteraan subjektif maupun psikologis pada mahasiswa.
Metode Penelitian
Kuesioner dibuat dalam bentuk Google Formulir dengan masa pengisian dari tanggal 27 April 2022 – 9 Mei 2022 dan disebarkan melalui beberapa grup di beberapa media sosial seperti Whatsapp dan LINE. Penyebaran kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hustle culture (workaholism) terhadap well being mahasiswa Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) Universitas Gadjah Mada. Jawaban yang didapat digunakan untuk mendapatkan informasi terkait pola aktivitas yang mengarah ke perilaku hustle culture (workaholism). Data yang digunakan berupa data diri (usia, jenis kelamin), pola perilaku, kesibukan, tingkat kesejahteraan. Kuesioner yang dibagikan bersifat kualitatif dan diolah secara kuantitatif-deskriptif.
Hasil Penelitian
Kuesioner penelitian ini dibagikan dari tanggal 27 April 2022 – 9 Mei 2022 dengan responden merupakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada semester 2 dan 4 yang tergabung dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa, dengan rentang usia 18 – 22 tahun. Terdapat dua tipe pertanyaan rincian 7 pertanyaan identitas dan 14 pertanyaan mengenai pola aktivitas.
Tabel 1. Pertanyaan terkait pola aktivitas mengenai kecenderungan perilaku hustle culture.
No | Pola aktivitas | Responden | Presentasi terbanyak (%) |
---|---|---|---|
1 | Frekuensi pengulangan materi perkuliahan/belajar mandiri selama 1 - 3 jam dalam sehari | 32 | 65.6 % |
2 | Frekuensi tugas yang diberikan dalam satu minggu adalah lebih dari 5 | 32 | 37.5 % |
3 | Mengerjakan tugas sebelum deadline yang diberikan oleh dosen | 32 | 78.1 % |
4 | Terkadang menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan tugas/bekerja dibandingkan bermain/bersosialisasi dengan teman | 32 | 40 % |
5 | Kesibukan lain di luar perkuliahan adalah organisasi | 32 | 100 % |
6 | Banyaknya organisasi yang diikuti dalam tahun ini adalah 2 - 3 | 32 | 59.4 % |
7 | Terkadang selalu aktif untuk mengikuti kegiatan di organisasi yang diikuti | 32 | 71.9 % |
8 | Tidak aktif dalam mengikuti kegiatan perlombaan | 32 | 71.9 % |
9 | Terkadang merasa bersalah apabila dalam satu hari tidak melakukan kegiatan yang produktif/menunda pekerjaan | 32 | 46.9 % |
10 | Jam tidur tidak teratur | 32 | 62.5 % |
11 | Frekuensi tidur per hari adalah 5 - 6 jam | 32 | 68.8 % |
12 | Kualitas tidur ditentukan oleh tugas yang dibebankan | 32 | 56.3 % |
13 | Terkadang merasa bahwa berperilaku hustle culture | 32 | 65.6 % |
14 | Terkadang merasa kesejahteraan fisik maupun psikis saya rendah | 32 | 56.3 % |
Pembahasan
Penelitian kami bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku hustle culture (workaholism) terhadap well being mahasiswa Unit Kesehatan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Dengan adanya penelitian ini kami berharap dapat memberikan gambaran mengenai perilaku hustle culture dan hubungannya dengan kesejahteraan fisik maupun psikis. Metode yang kami lakukan dalam penelitian ini yaitu menggunakan kuesioner untuk mengetahui tingkat perilaku mahasiswa yang disebarkan melalui media sosial dengan target mahasiswa yang tergabung dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa.
Berdasarkan hasil yang kami dapatkan dari 32 responden yang terkadang merasa berperilaku hustle culture sebanyak 65.6 %, terkadang merasa kesejahteraan fisik maupun psikis rendah sebanyak 56.3 %, mengerjakan tugas sebelum deadline yang diberikan sebanyak 78.1 %, kualitas tidurnya ditentukan oleh tugas yang dibebankan sebanyak 56.3 %, jumlah organisasi yang diikuti adalah 2-3 sebanyak 59.4 %, serta terkadang aktif dalam kegiatan organisasi sebanyak 71.9 %.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden merasakan bahwa dirinya berperilaku hustle culture, serta merasa kesejahteraan fisik maupun psikisnya rendah. Hal tersebut dapat terlihat bahwa pengurangan jam tidur serta kualitas tidur responden ditentukan oleh beban tugas yang diberikan. Selain kegiatan akademik, sebagian besar responden juga aktif dalam kegiatan berorganisasi. Sebagian besar responden juga merasa bersalah apabila pada suatu hari menunda pekerjaan/tidak produktif.
Menurut Chamberlin & Zhang (2009), seseorang dengan workaholism akan cenderung terus menerus tenggelam dalam aktivitas kerja. Ketika mereka tidak bekerja, maka secara negatif akan mempengaruhi hubungan pribadinya. Berdasarkan penelitian (Aziz & Zickar, 2006; Bakker, Schaufeli, Leiter, & Taris, 2008; Graves et al., 2012; Kanai & Wakabayashi, 2004) menemukan bahwa orang dengan kecenderungan workaholics menunjukkan level angka stres yang tinggi apabila dibandingkan dengan orang yang non-workaholics.
Sebagian besar responden mengerjakan tugas sebelum deadline yang diberikan serta mengulang pelajaran/materi selama 1-3 jam. Menurut penelitian (Aziz & Zickar, 2006; Burke, 2001) menjelaskan bahwa orang dengan workaholics akan memiliki jam kerja yang lebih banyak per minggunya apabila dibandingkan dengan orang yang non-workaholics. Menurut Clark (2014), pekerja yang mempunyai harga diri rendah akan bekerja dengan waktu yang lama dan keras untuk menghindari defisit ego, seperti perasaan bersalah. Perilaku tersebut dapat mendorong kecenderungan seseorang menjadi workaholic. Akan tetapi, pada hasil penelitian ini didapatkan hasil waktu belajar ulang hanya 1-3 jam per minggu. Hal ini dapat dikarenakan responden juga mengikuti organisasi lain serta aktif dalam kegiatan organisme sehingga dapat menyita waktu belajar sehingga waktu belajar yang diperoleh cenderung rendah.
Hustle culture dapat merusak work life balance sehingga menimbulkan stres. Jam kerja yang berlebihan dan berantakan akan berdampak pada well-being seseorang. Well-being atau kesejahteraan kondisi seseorang dapat dinilai melalui tingkat stress. Level stress ini dapat dikaitkan dengan adanya keresahan sehingga sesuai dengan hasil kuisioner bahwa tingkat kesejahteraan psikis yang dialami responden rendah. Kesesuaian ini dapat dikaitkan karena seorang yang sedang mengalami hustle culture akan secara sadar maupun tidak sadar memaksakan diri untuk bekerja sepanjang waktu sehingga dapat menyebabkan kesejahteraan psikisnya rendah. Selain berkaitan dengan kesejahteraan psikis, budaya hustle culture juga dapat menyebabkan rendahnya kesejahteraan fisik. Hal ini dikarenakan seseorang akan mendorong untuk bekerja terus tanpa memperdulikan kesehatan fisik atau berolahraga. Seseorang dengan hustle culture akan bersikap seperti kecanduan kerja sehingga meningkatkan stress (Habfoll, 1989).
Budaya hustle culture yang sebagian besar dialami oleh mahasiswa Unit Kesehatan Masyarakat dapat dikaitkan dengan ketidakmampuan mengatur waktu secara baik serta kegiatan yang diikuti cukup banyak sehingga mendorong responden untuk bekerja melebihi batas dan berpengaruh pada kesejahteraan fisik dan psikis responden. Berdasarkan penelitian (Sonnentag, and Fritz, 2007; 2015) bahwa pemulihan dapat memberikan respon positif terhadap kesejahteraan seseorang. Upaya untuk memulihkan well-being seseorang berdasarkan budaya hustle culture dapat dilakukan dengan mengatur kembali waktu secara terorganisir.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara hustle culture terhadap well-being mahasiswa yang tergabung ke dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) UGM. Dimana sebagian sebagian besar mahasiswa yang tergabung ke dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) UGM berperilaku hustle culture, hal ini dinilai oleh adanya faktor organisasi yang diikuti, tugas yang diberikan, serta pengulangan materi perkuliahan yang diberikan sehingga cenderung memiliki jam kerja yang lebih banyak per minggunya, disamping itu diprediksi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti motivasi, sikap, dan harga diri yang rendah. Perilaku hustle culture ini berdampak kepada well-being mahasiswa yang tergabung ke dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) UGM, hal ini dinilai dari pengurangan jam tidur termasuk kualitas tidur, serta tingkat kesejahteraan fisik maupun psikisnya rendah yang dirasakan oleh mahasiswa yang tergabung ke dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) UGM. Karena ketidakmampuan mengatur waktu secara baik serta kegiatan yang diikuti cukup banyak disarankan agar mahasiswa yang tergabung ke dalam UKM Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma) UGM menerapkan work life balance sebagai antisipasi terjadinya permasalahan kesehatan mental dan upaya mengurangi tingkat stres, work life balance penting dalam menyeimbangkan tanggung jawab dalam pekerjaan dan hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
Daftar Pustaka
Aziz, S., Zamary, S., & Wuensch, K. (2018). The endless pursuit for self-validation through attainment: An examination of self-esteem in relation to workaholism. Personality and Individual Differences, 121, 74-79. https://doi.org/10.1016/j.paid.2017.09.024
Chamberlin, C. M., & Zhang, N. (2009). Workaholism, health, and self‐acceptance. Journal of Counseling & development, 87(2), 159-169. https://doi.org/10.1002/j.1556-6678.2009.tb00563.x
Clark, M. A., Michel, J. S., Zhdanova, L., Pui, S. Y., & Baltes, B. B. (2016). All work and no play? A meta-analytic examination of the correlates and outcomes of workaholism. Journal of Management, 42(7), 1836-1873. https://doi.org/10.1177/0149206314522301
Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55(1), 34– 43. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.34 Diener, E. (2012). New findings and future directions for subjective well-being research. American psychologist, 67(8), 590. https://doi.org/10.1037/a0029541
Dinesh, T. K., Shetty, A., Dhyani, V. S., TS, S., & Dsouza, K. J. (2022). Effectiveness of mindfulness-based interventions on well-being and work-related stress in the financial sector: a systematic review and meta-analysis protocol. Systematic reviews, 11(1), 1-8. https://doi.org/10.1186/s13643-022-01956-x
Hernández-Torrano, D., Ibrayeva, L., Sparks, J., Lim, N., Clementi, A., Almukhambetova, A., Nurtayev, Y., & Muratkyzy, A. (2020). Mental health and well-being of university students: A bibliometric mapping of the literature. Frontiers in psychology, 1226. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.01226
Martínez, L., Valencia, I., & Trofimoff, V. (2020). Subjective wellbeing and mental health during the COVID-19 pandemic: Data from three population groups in Colombia. Data in brief, 32, 106287. https://doi.org/10.1016/j.dib.2020.106287
Ng, T. W., Sorensen, K. L., & Feldman, D. C. (2007). Dimensions, antecedents, and consequences of workaholism: A conceptual integration and extension. Journal of Organizational Behavior: The International Journal of Industrial, Occupational and Organizational Psychology and Behavior, 28(1), 111-136. https://doi.org/10.1002/job.424
Oates, W. E. (1971). Confessions of a workaholic: The facts about work addiction. World Publishing Company. Spence, J. T., & Robbins, A. S. (1992). Workaholism: Definition, measurement, and preliminary results. Journal of personality assessment, 58(1), 160-178. https://doi.org/10.1207/s15327752jpa5801_15
Van Wijhe, C. I., Peeters, M. C., & Schaufeli, W. B. (2014). Enough is enough: Cognitive antecedents of workaholism and its aftermath. Human Resource Management, 53(1), 157-177. https://doi.org/10.1002/hrm.21573
Gideon Stevi Jeconeah1, Salsabiela Mielenia Putri1, Julia2, Tarissa Junita Briliani3
1Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
2Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
3Manajemen Informasi Kesehatan, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
e-mail: 1gideonstevi@mail.ugm.ac.id
Latar belakang
Stunting merupakan permasalahan kesehatan anak pada masa tumbuh dan kembang sang anak dari awal tahapan kehidupan akibat status gizi yang kurang dari standar minimal. Menurut Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) pada tahun 2018, stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO (Kemenkes RI, 2018).
Stunting dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, seperti ekonomi dan sosial. Hingga saat ini, permasalahan mengenai stunting masih terus digencarkan proses penurunan angkanya oleh pemerintah Indonesia. Di Kabupaten Bantul sendiri, sudah ada beberapa upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dengan melakukan rapat koordinasi terkait program percepatan pencegahan stunting, dan lain sebagainya. Usaha-usaha yang dilakukan ini bertujuan untuk mengurangi prevalensi stunting yang ada hingga saat ini. Data prevalensi stunting pada tahun 2017-2019 di setiap kabupaten yang ada di Provinsi Yogyakarta, dapat diketahui angka-angkanya sebagai berikut: Gunung Kidul (20,60%), Kulon Progo (16,38%), Kota Yogyakarta (14,16%), Sleman (11,99%), dan Bantul (10,41%) (Dinas Kesehatan DIY, 2017). Untuk angka prevalensi balita pendek terbesar pada tahun 2018 adalah Kabupaten Gunung Kidul (18,47) dan terendah Kabupaten Bantul (9,75). (Dinas kesehatan DIY, 2018). Pada tahun 2019, prevalensi balita pendek terbesar masih dipegang oleh Kabupaten Gunung Kidul (17,94) dan terendah Kabupaten Bantul (7,73) (Dinas kesehatan DIY, 2019).
Kabupaten Bantul sendiri memegang tingkat terendah pada permasalahan stunting pada tahun 2019. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menangani permasalahan stunting melalui program stimulasi, deteksi, dan intervensi dini tumbuh kembang anak; perbaikan gizi masyarakat; kelas ibu hamil; promosi ASI ekslusif dan upaya pencegahan lainnya. Namun peran pemerintah daerah saja tidak cukup untuk dapat mengurangi angka stunting. Dibutuhkan juga peran serta masyarakat untuk mendukung serta menjaga keberhasilan pencegahan stunting, yang dimana salah satunya adalah peran generasi muda terutama generasi Z. Generasi Z atau yang biasa disebut generasi internet adalah mereka yang lahir pada kisaran tahun 1995 untuk batas awal dan 2010 untuk batas akhir dari tahun kelahiran. Generasi Z dikenal sebagai generasi yang mahir dengan penggunaan teknologi dan sosial media, generasi yang cenderung ekspresif, dan multitasking (Hadion Wijoyo et al., 2020).
Sebagai generasi yang mahir secara digital, peran serta generasi ini penting dipahami untuk dapat mencegah stunting. Kemampuan mengeksplorasi ilmu dan pengetahuan yang baik menjadi modal besar bagi generasi ini untuk mengetahui langkah pencegahan stunting, sehingga dapat turut berkontribusi dalam menurunkan angka stunting di Kabupaten Bantul. Pemahaman generasi Z terkait stunting yang berkembang saat ini di Kabupaten Bantul cukup beragam. Oleh karena itu, analisis ini dilakukan sebagai salah satu kajian pemahaman generasi Z terhadap stunting di Kabupaten Bantul yang belum ada. Melalui analisis ini dapat diketahui bagaimana pemahaman generasi Z terhadap stunting di Kabupaten Bantul yang dapat berkontribusi pada perubahan angka prevalensi stunting di masa depan.
Metode
Kuesioner dibuat dalam bentuk Google Formulir dengan masa pengisian dari 15-20 Maret 2021 dan disebarkan melalui grup-grup di beberapa media sosial seperti WhatsApp dan LINE. Penyebaran kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan anak muda (usia mahasiswa) terkait stunting. Jawaban yang didapat digunakan untuk mengetahui perkiraan tingkat stunting beberapa tahun kedepan saat perempuan muda yang berstatus mahasiswa pada tahun 2021 menjadi seorang ibu. Data yang digunakan untuk menganalisis berupa data diri (usia), pemahaman terkait stunting, dan langkah pencegahannya. Kuesioner yang dibagikan bersifat kualitatif dan diolah secara kuantitatif-deskriptif. Dalam kuesioner tersebut, terdapat beberapa pertanyaan lagi tentang jenis kelamin, tingkat pendapatan, ataupun anggota keluarga/kerabat yang mengalami stunting. Namun, data tersebut tidak dapat digunakan karena informasi yang tidak lengkap untuk dianalisis.
Hasil
Selama 5 hari kuisioner tersebut dibagikan, terdapat 59 responden dengan rentang usia 18-23 tahun. Terdapat pula responden berusia 41, dan 26 tetapi tidak diperhitungkan karena tidak termasuk generasi Z. Jenis kelamin sebagian besar narasumber adalah perempuan (79,3%) diikuti dengan laki-laki (20,7%). Dalam kuesioner yang dibagikan, narasumber diharuskan mengisi pertanyaan terkait pemahaman mengenai penyakit stunting yang diketahui. Pertanyaan tersebut dibantu dengan 7 pilihan (Tabel 1. simbol A-G) yang disediakan dan 1 pilihan berupa isian singkat untuk jawaban lainnya yang diketahui responden (Tabel 1. simbol H-J).
Hasil yang didapatkan (Grafik 1) menunjukkan bahwa pengetahuan responden paling tinggi tentang stunting adalah disebabkan oleh pola makan/gizi yang tidak seimbang sebesar 77,6%, sedangkan pengetahuan masyarakat tentang stunting paling rendah adalah faktor keturunan sebesar 17,2%. Terdapat juga jawaban lainnya berdasarkan jawaban responden yaitu TB/umur lebih dari 2 di bawah median WHO Child Growth Standard, selain mengganggu pertumbuhan juga mengganggu perkembangan otak, dan tidak tahu masing-masing sebesar 1,72%. Pengetahuan responden dinilai baik jika memilih list jawaban sebanyak 6-7 jawaban, dinilai cukup jika memilih 3-5 jawaban, dan dinilai kurang jika hanya memilih 0-2 jawaban (Grafik 2).