Alya duduk di pojok kafe dengan laptop terbuka dan secangkir kopi yang sudah dingin. Seharusnya ia menyelesaikan tugas makalah yang deadlinenya tinggal beberapa jam lagi, tapi perhatiannya tersedot ke ponselnya. Jari-jarinya dengan cekatan memilih foto dari perjalanan ke Bali minggu lalu. Semua tampak sempurna: senyumnya cerah, sunset berwarna keemasan, kulitnya tampak bercahaya berkat filter yang dipilihnya.

 

“Ayo, satu postingan lagi sebelum tenggat tugas,” pikirnya.

 

Begitu foto itu diunggah dengan caption: “Hidup terlalu singkat untuk tidak menikmati setiap momen 🌅✨”, notifikasi mulai berdatangan.

 

*Like. Comment. Share.*

 

Beberapa menit kemudian, temannya, Dita, masuk ke kafe dengan wajah lelah. “Ly, tugas makalah udah selesai belum? Kita cuma punya waktu tiga jam!”

 

Alya buru-buru menutup Instagram dan beralih ke dokumen kosong di laptopnya. Senyum di wajahnya memudar. Semua foto yang ia unggah minggu lalu tak pernah bercerita tentang betapa ia ketinggalan tugas, begadang hampir setiap malam, dan merasa tertekan dengan ekspektasi orang-orang di sekitarnya.

 

Tiga minggu berlalu. Alya merasa semakin lelah, baik fisik maupun mental. Di media sosial, hidupnya tampak sempurna penuh kafe hits, liburan, dan outfit kekinian. Tapi di dunia nyata, tugas menumpuk, dompet menipis, dan relasi dengan teman-temannya terasa semakin hambar.

 

Suatu malam, setelah menghabiskan waktu dua jam hanya untuk mengedit foto agar tampak lebih cerah dan menarik, Alya menatap ponselnya dengan frustrasi. Ia menangis tanpa suara. Ia merasa kesepian, meskipun komentarnya penuh pujian.

 

Sebuah pesan muncul dari Dita:

 

“Ly, lo baik-baik aja nggak? Gue perhatiin akhir-akhir ini lo kayak sibuk banget di medsos, tapi jarang ngobrol sama kita. Kita kangen lo.”

 

Alya menatap pesan itu lama. Ia merasa ditampar oleh kenyataan. Dengan tangan gemetar, ia mencoba membuka Instagram lagi, tapi yang ia rasakan hanya rasa kosong. Apa artinya semua like itu kalau ia merasa jauh dari teman-teman yang benar-benar peduli padanya?  Semalaman ia tidak bisa tidur karena memikirkan pesan Dita.

 

Keesokan harinya, Alya memberanikan diri untuk bertemu Dita dan teman-temannya di kampus. Ia meletakkan ponselnya di tas dan mencoba fokus pada percakapan mereka. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa lega. Tidak ada tekanan untuk tampil sempurna. Tidak ada filter yang perlu dipasang.

 

Malam itu, Alya merasa bahagia ia pun mengunggah sebuah foto berbeda dari biasanya: meja belajar berantakan dengan buku-buku dan catatan penuh coretan, serta secangkir kopi yang hampir habis. Caption-nya sederhana:

 

“Belajar berdamai dengan hidup yang berantakan. Ternyata lebih lega tanpa filter.”

 

Komentar berdatangan, beberapa teman mengungkapkan perasaan serupa. Salah satu komentar dari Dita berbunyi: “Akhirnya, ini Alya yang gue kenal. Bangga sama lo!”

 

Alya tersenyum kecil. Ia sadar bahwa kebahagiaan tidak datang dari kesempurnaan  dan pengakuan orang lain. Ia tidak butuh filter untuk hidupnya. Ia hanya butuh keberanian untuk menjadi dirinya sendiri.

 

Dalam kehidupan mahasiswa, tekanan untuk tampil sempurna di media sosial sering kali bertolak belakang dengan kenyataan. Cerpen ini mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari koneksi nyata dengan teman-teman dan menerima hidup dengan segala kekurangannya. Media sosial seharusnya menjadi alat berbagi, bukan beban yang mengikis kesehatan mental

Categories: Cerpen

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.