By : Kimiko Liora Precious

Dennala Maisya Putri, itu nama lengkapnya. Usia 18 tahun, hobi menulis, dan biasanya dipanggil Nala. Nala punya suatu kebiasaan unik. Kalau hari-hari nya lagi jelek, buku harian Nala isinya warna hitam semua. ‘Kan, hitam warnanya jelek, lalu cocok buat wakilin isi hati Nala yang gatau artinya apa,’ batinnya. Nala sendiri tinggal bersama mama yang selalu pulang saat ia tidur, ibarat bangunan yang tak lagi memiliki makna, bagi Nala rumahnya itu bukan lagi tempatnya berpulang. Mamanya juga biasa berangkat dini hari, jadi biasanya Nala hanya ketemu di mimpi. Tapi, anehnya, mimpi perempuan itu sepertinya hanyalah bayangan. Bisa jalan-jalan, masak, having fun bareng mama, lalu-

 

“Heh Nala, bengong ae. Makananmu nanti dingin lho,” kata Syden. Syden Bintang Aksara itu sahabat Nala yang super famous engga tau kenapa. ‘Ada aja fans cewek yang deketin Syden, padahal Syden kan punya Nala. Ya, walau belum sah aja sih. Tapi, pasti Syden suka sama Nala, kan?’ batin perempuan itu.

 

“Ih, kamu tadi ganggu Nala lagi mikir, Den!” gerutu Nala, sambil mencicipi makanannya yang sudah sedikit dingin. “Yaah, aku mau cerita tadi si Riki ajak aku nonton film, kamu mau ikut ga?” ajak Syden.

 

Rikimi Kuraimase, itu nama lengkapnya. Seorang mahasiswi yang juga sekelas dengan Nala dan Syden. Karena orang tuanya berlatar belakang Jepang, namanya pun juga memiliki aksen Jepang. Rikimi sudah tinggal di Indonesia sejak kecil, jadi ia sudah terbiasa dengan lingkungannya. Parasnya yang cantik selalu meluluhkan hati orang-orang yang berpapasan dengannya. “Ah.. Riki kah sekarang..” guman Nala.

 

“Nggak bermaksud gitu Nal-”

 

“Yaudah aku ikut Den, kapan nontonnya?”

 

“Katanya sih hari Rabu habis kelas,” balas Syden dengan sedikit ragu. Syden tahu latar belakang keluarga Nala yang cukup rumit untuk dicerna bagi orang awam. Ditinggal sosok papa ketika usianya masih belia, suara piring pecah dan maki-makian amarah menjadi makanannya sehari-hari, belum lagi hubungan Nala dengan mamanya yang tidak membaik setiap harinya. Hal ini membuat Syden menjadi satu-satunya pelarian di mana Nala merasa ‘aman’. Akan tetapi, jauh di lubuk hati Nala yang terdalam, ia tahu dan sadar tidak ada rasa ‘aman’ dimanapun ia memijakkan kakinya. Alhasil Riki sendiri menjadi suatu ancaman bagi Nala, takut dan khawatir Syden akan perlahan menjauh dan pergi dari kehidupannya, sama seperti mama dan papanya.

 

Hari Rabu berjalan dengan sangat cepat. Wajar karena mereka hanya memiliki satu mata kuliah pada hari itu. “Gas berangkat Nal?” ajak Syden. Memasuki kursi depan dari mobil Syden, Nala menyadari ada penumpang di kursi bagian belakang, itu Rikimi. “Hai, Nala! Kita kayaknya cuma pernah papasan doang di koridor kelas, kenalin aku Rikimi Kuraimase~”

 

“Nala,” jawabnya singkat.

 

“Nal, jawab yang bener dong orang mau ajak kenalan, gimana sih,” balas Syden ikut nimbrung dalam percakapan. Selama perjalanan, pikiran Nala terselimuti oleh awan hitam yang biasa ada dalam catatan hariannya. Sementara Syden dan Riki asik berbincang dengan penuh canda tawa, di situlah Nala terpojok, penuh atas pemikirannya sendiri, ‘Syden kayaknya suka Riki, Syden udah ga mau Nala lagi, Syden mau ninggalin Nala yah? Kok Riki tega banget, Riki jahat, Riki jahat, Riki jahat, Riki tega, Riki harus dihukum kayak Nala dulu.’ Sampai pada akhir perjalanan, mereka pun berpisah kembali ke rumah masing-masing, “Dadah~ kapan-kapan lagi ya Den!” ucap Riki.

 

“Heh Nal, diem-diem wae kamu, ada apa?” tanya Syden.

 

“Nggak apa-apa.”

 

“Yakin?”

 

“Iya, Syden sayang.”

 

“Ih apaan deh Nal, hahahaha, kita udah bukan anak kecil lagi,” balas Syden.

 

‘Tapi, Nala masih mau jadi anak kecil lagi..’ batin Nala.

 

“Udah sana, hati-hati jalannya Nal! Pelan-pelan masuk rumahnya,” ucap Syden menyampaikan selamat tinggal.

 

Sesampainya di rumah, Nala membuka pintu perlahan dan disambut dengan amarah ibunya. “DARI MANA AJA KAMU?!” teriak mama Nala.

 

“Eh Nala nggak tau mama pulang cep-”

 

“ALASAN AJA KAMU!”

 

Semerbak bau alkohol memenuhi seisi rumah. Suara gelas pecah terdengar menggema diikuti bentakan dari mama Nala, “MASUK KE KAMARMU DAN JANGAN KELUAR-KELUAR LAGI.”

 

Nala menghembuskan nafas berat, pasrah terhadap hidupnya yang sudah berantakan, entah sejak kapan. Mungkin sejak papa dan mamanya berpisah? Mungkin sejak mamanya bekerja sebagai pemuas ragawi orang lain? Setiap malam, pikiran Nala terus berkelana entah kemana arahnya. Berpikir untuk melarikan diri dari rumah? Ratusan kali. Berharap bahwa semuanya hanya mimpi. Nala pun menuliskan apa yang dirasakannya :

Hari berganti hari, semakin dekat pula hubungan Syden dan Riki. Mungkin sekarang bisa disebut sebagai teman baik, punya minat yang sama, selera humor yang sama, hobi yang sama. Namun, dibalik semua itu terdapat tatapan mata dari seseorang yang tidak menyukai hubungan dari kedua orang tersebut. Hingga pada suatu hari, Nala muak dengan segalanya. Muak akan rumah, Riki, perkuliahan, muak akan dirinya dan kehidupannya yang menyedihkan.

 

Usai kelas, Nala menghampiri Riki yang sedang sibuk merapikan barang-barangnya. “Riki, temenin Nala yuk ke toilet,” ajaknya. Maklumlah, toilet di fakultas mereka berada di lorong ujung bangunan, jadi sering sekali buat cewek-cewek untuk pergi bersama temannya. Walaupun hubungan Nala dan Riki akhir-akhir itu tidak terlalu dekat, Riki masih menuruti permintaan Nala, toh ia juga ingin pergi ke toilet. Hingga tiba saat di mana Nala dengan cepat keluar dari toilet, mengunci bilik toilet Riki, dan mematikan saklar lampu toilet tersebut. Ya, Riki terjebak di dalam toilet.

 

“Eh Nal, liat Riki di mana ga?” tanya Syden ketika mereka bertemu di selasar gedung. “Ga usah sebut-sebut Riki lah, kan Nala di sini Den,” kata Nala dengan cemberut.

 

“Tapi, kan ga ada Riki ga lengkap rasanya Nal, tadi kamu terakhir sama dia kan?”

 

“Udahlah, Nala udah ada disini, kurang apa lagi.”

 

“Nala.. kamu tau dimana Riki?”

 

“…”

“Nala, jawab aku,” pinta Syden, sedikit menaikkan nada bicaranya.

 

“Kenapa Riki, Riki, Riki terus? Emang Nala aja kurang di matamu, Den? Apa yang kurang dari Nala? Apa yang Riki punya yang ga ada di Nala?! Kenapa sekarang Syden ninggalin Nala?!” ungkap Nala, mencurahkan isi hatinya.

 

“DENNALA! DI MANA RIKI?” bentak Syden.

 

Itu pertama kalinya Syden membentak Nala. Perempuan itu tahu dirinya salah, namun perasaan dalam hatinya yang sudah terlanjur memberontak, mengambil alih akal sehatnya. Tidak ada seorangpun yang sanggup menahan rasa sakitnya ditinggalkan orang yang begitu berharga, tak terkecuali Nala.

 

“.. Nala kurung Riki di toilet lantai tiga,” lirih Nala, terisak pelan.

 

“NALA!”

 

“APA SIH DEN? KENAPA? KENAPA MAMA BOLEH KURUNG NALA, LEMPARIN BARANG KE NALA, TAPI NALA GA BOLEH?! KENAPA SEMUANYA GA ADIL DI HIDUP NALA? KENAPA SEMUA ORANG MAU NINGGALIN NALA SENDIRI?!”

 

Hening. Hanya hembusan angin yang dapat terdengar di antara mereka berdua setelah Nala mengakui perbuatannya. Syden berdiri terdiam, mencoba mencerna ucapan perempuan itu. Akan tetapi, tangan laki-laki itu secara tidak sadar bertindak, meninggalkan jejak merah di pipi Nala.

 

Suara rintik hujan mulai terdengar sore itu. Mungkin langit tahu hati Nala yang sedang kecewa. Sensasi panas pada pipi Nala membuatnya tersadar akan perbuatan Syden. Air mata mengalir melewati pipi sampai ke dagu. Tidak putus pula pandangan Nala kepada Syden, menatapnya dengan terkejut. Sadar atas perlakuannya, Syden kembali pada kenyataan bahwa ia sedang berdiri di hadapan sahabatnya yang baru saja ia sakiti.

 

Hubungan mereka memang mulai merenggang sejak Riki berteman dengan Syden, tapi laki-laki itu tidak tahu seberapa jauh Nala sudah tersakiti. Instingnya berkata untuk segera mendekap Nala dengan erat. “Maaf,” lirihnya.

 

Tangis Nala pecah, membasahi kemeja Syden. “Maafin aku yang ga tau apa-apa, Nal,” ungkap Syden, “maaf karena aku ga tau apa yang udah kamu lalui, maaf karena aku perlahan menghilang, dan maaf karena aku udah nyakitin kamu lebih daripada yang ku kira.”

 

Isakan Nala mereda seiring hangat dari dekapan Syden yang menjalar ke hatinya. “Sekarang kamu ga usah khawatir, aku ada disini,” kata Syden, “kamu aman bersamaku.”

 

Semua hal itu perkara berdamai dengan masa lalu, diri sendiri, dan luka-luka yang tergores di hati. Tentu, luka tersebut meninggalkan bekas, tapi semuanya itu tentang bagaimana cara menyembuhkan dan memperkecil sobekan luka tersebut. Nala belajar hal keras dari keadaannya di rumah. Namun dengan Syden, ia pun belajar untuk menyadari dan menerima bahwa segala sesuatu terjadi dengan alasannya. Memaafkan mama, Syden, dan trauma-traumanya tentu bukanlah suatu hal yang mudah. ‘Karena hidup tentang berproses, manusia berjalan, berusaha menerima, juga berusaha mengobati luka itu. Pelan-pelan aja, nanti juga sembuh.’

 

“Udah tenang?” tanya Syden. Nala pun menganggukkan kepalanya pelan. “Ayok kita samperin Riki,” ajak laki-laki itu, “jangan lupa minta maaf.”

 

Dan itulah kisah Dennala di masa lalu, ia yang kini berusia 24 tahun sudah bisa menafkahi dirinya sendiri, tanpa bergantung pada orang lain, termasuk Syden. Laki-laki itu pun sudah berbahagia bersama pasangannya. Mama Nala sudah pergi dengan damai ketika Nala menginjak umur 20 tahun. Nala juga sudah berdamai dengan kenangannya di masa lalu, dengan orang-orang yang pernah menyakitinya. Seiring berjalannya waktu, ia belajar untuk memaafkan, menyadari bahwa memang selama ini mamanya sudah berjuang semaksimal mungkin untuk mencari kebahagiaan, baik untuk dirinya dan anak semata wayangnya. Mungkin sekarang saatnya untuk melepas semua beban, moving on from your past, karena dirimu di masa depan dan masa kini lebih berarti untuk dikenang.

Categories: Cerpen