Tahukah kamu, ternyata memelihara hewan kesayangan punya banyak manfaat buat kesehatan mental, lho. Ketika memelihara hewan, seseorang memiliki tanggung jawab untuk merawat hewan peliharaannya, seperti memberi makan, memandikan, ataupun memberi perhatian. Hal-hal seperti ini dapat membuat seseorang merasa memiliki tujuan dalam menjalani hidup sehari-hari (sense of purpose) sehingga dapat menjadi sumber kekuatan dan membuat seseorang lebih menghargai diri sendiri. Berinteraksi dengan hewan kesayangan dapat mengurangi kadar hormon stress seperti kortisol, adrenalin, dan aldosterone. Ketika hewan peliharaan menunjukkan kasih sayang kepada pemiliknya, hal ini akan menimbulkan perasaan diterima dan dimiliki, sehingga dapat mengurangi perasaan negatif. Selain itu, interaksi manusia dan hewan peliharaannya dapat membangun hubungan emosional yang positif dan mempengaruhi interaksi sosial sehingga seseorang akan lebih mudah berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Secara umum, interaksi dengan hewan merupakan afeksi yang sederhana, rileks, dan tanpa penghakiman. Oleh karena itu, hewan peliharaan dapat menjadi alternatif terapi bagi orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Terapi ini disebut animal-assisted therapy (AAT). AAT telah digunakan sebagai terapi bagi pasien dengan gangguan mental seperti kecemasan, depresi, post-traumatic stress disorder (PTSD), serta anak-anak dengan autism spectrum disorder (ASD). Sudah ada beberapa penelitian yang mendalami manfaat dari AAT ini.

Beberapa hewan yang telah dimanfaatkan dalam terapi ini antara lain kuda, anjing, kucing, kelinci, lumba-lumba, dan burung. Terapi ini terdiri atas serangkaian sesi terapeutik dimana pasien berinteraksi dengan hewan dengan didampingi oleh terapis profesional. Borgi et al (2015) meneliti efek terapi hewan dengan menggunakan kuda yang dilakukan selama 6 bulan pada anak-anak dengan ASD dalam kelompok kecil. Ada berbagai kegiatan menyenangkan yang dilakukan selama terapi, seperti perawatan kuda, menunggang kuda, permainan berkelompok, dan memberi makan kuda. Hasilnya, terjadi peningkatan pada kemampuan motorik dan problem solving anak.

Lumba-lumba juga dapat menjadi teman terapi bagi anak-anak dengan ASD. Anak-anak secara alami tertarik pada lumba-lumba karena bentuknya yang unik menyerupai senyuman dan gerakannya yang memukau di dalam air. Terapi hewan bersama lumba-lumba ini bertujuan melatih anak-anak dengan ASD untuk berkomunikasi dan mempelajari emosi mereka dengan didampingi oleh terapis dan pelatih lumba-lumba. Komunikasi antara anak dan terapis dibangun melalui interaksi dengan lumba-lumba, misalnya anak diajak berbincang-bincang tentang pengamatan terhadap lumba-lumba dan diajari cara memberi sinyal pada lumba-lumba untuk melakukan aksi. Hasil penelitian melaporkan adanya perkembangan signifikan pada kemampuan bahasa, berbicara, motorik kasar, dan motorik halus pada anak.

Selain pada anak dengan ASD, terapi hewan juga dilakukan pada pasien dewasa dengan perilaku mengarah pada bunuh diri (suicidal behaviours). Terapi berfokus pada pengembangan kemampuan pengaturan interpersonal dan emosional pasien dengan memaparkan tentang fakta, faktor risiko, dan tanda peringatan perilaku bunuh diri. Pasien akan belajar menghadapi rasa permusuhan terhadap diri mereka sendiri, membuat rencana yang aman, dan mengatur sumber daya yang mereka perlukan di situasi yang berisiko. Hewan yang dipilih dalam terapi ini adalah anjing yang menjadi jembatan komunikasi dan interaksi antara pasien dan terapis. Pasien juga belajar teknik distraksi dimana saat mereka mengalami krisis emosional, mereka dapat mengalihkan perhatian dengan melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama anjing tersebut.

Wah, ternyata terapi hewan ini sangat bermanfaat ya. Selain baik bagi kesehatan mental, berinteraksi dengan hewan juga dapat meningkatkan aktivitas fisik. Terapi hewan ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain kepatuhan yang tinggi terhadap terapi, bisa dilakukan bersamaan dengan terapi yang lain, serta menjadi pengalaman yang menenangkan bagi klien. Meskipun telah terbukti terdapat manfaat, terapi hewan ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pada pasien yang memiliki alergi bulu hewan misalnya, terapi hewan sulit dilakukan. Selain itu, terdapat risiko dari perilaku hewan yang merugikan, seperti gigitan atau menolak untuk berinteraksi. Jika hewan sakit atau mati selama sesi terapi, kesedihan yang dapat dialami pasien bisa jadi sama beratnya ketika mengalami kehilangan orang-orang terdekat. Penelitian pada area ini masih perlu dikembangkan terutama tentang efektivitas terapi serta jenis hewan yang paling baik digunakan untuk terapi.

 

 

 

Daftar Pustaka

Borgi, M., Loliva, D., Cerino, S., Chiarotti, F., Venerosi, A., Bramini, M., Nonnis, E., Marcelli, M., Vinti, C., De Santis, C., Bisacco, F., Fagerlie, M., Frascarelli, M., & Cirulli, F. (2015). Effectiveness of a Standardized Equine-Assisted Therapy Program for Children with Autism Spectrum Disorder. Journal of Autism and Developmental Disorders, 46(1), 1–9. https://doi.org/10.1007/s10803-015-2530-6

Griffioen, R., Van Der Steen, S., Cox, R. F. A., Verheggen, T., & Enders-Slegers, M. (2019). Verbal Interactional Synchronization between Therapist and Children with Autism Spectrum Disorder during Dolphin Assisted Therapy: Five Case Studies. Animals, 9(10), 716. https://doi.org/10.3390/ani9100716

Shoib, S., Hussaini, S. S., Chandradasa, M., Saeed, F., Khan, T., Swed, S., & Lengvenytė, A. (2022). Role of pets and animal assisted therapy in suicide prevention. Annals of Medicine and Surgery, 80. https://doi.org/10.1016/j.amsu.2022.104153

Sirait, J. S., & Desiana, S. M. (2019). Animal-Assisted Therapy sebagai Pengobatan Pasien Autism Spectrum Disorder pada Anak. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3), 169. https://doi.org/10.32584/jikj.v2i3.430


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published.